Makawaru da Cunha
CITRA PAPUA.COM–JAYAPURA–Penahanan empat pejabat kesehatan Papua Nugini (PNG) oleh Imigrasi Jayapura menuai gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jayapura.
Kuasa hukum menilai proses penangkapan hingga penetapan tersangka cacat hukum, tidak sah, dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Keempat pejabat tersebut adalah Adrian Lohumbo (CEO West Sepik Provincial Health Authority), Nimbaken Tibli (pejabat keuangan), Amstrong Kupe (perawat), dan Melchior Nemo (petugas kamar jenazah). Mereka datang ke Jayapura atas undangan resmi dari Kepala RS Bhayangkara dalam rangka kerja sama kesehatan lintas negara.
Namun, keempatnya justru dijemput paksa, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Imigrasi.
Kuasa hukum mereka, Dr. Anthon Raharusun, SH, MH menegaskan bahwa seluruh proses itu dilakukan tanpa pendampingan penasihat hukum, tanpa surat penangkapan, serta tanpa pemberitahuan kepada Konsulat PNG.
“Klien kami dijemput paksa tanpa pengacara, padahal ancaman pidananya di atas lima tahun. Ini pelanggaran serius terhadap KUHAP dan HAM,” tegas Raharusun, Sabtu (19/7/2025).
Keempat warga negara PNG tersebut dijerat Pasal 113 dan 119 Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Namun, tim hukum membantah tuduhan bahwa mereka masuk melalui jalur ilegal atau “jalur tikus”.
“Mereka masuk lewat Pos Lintas Batas resmi dengan kendaraan sewaan. Tuduhan masuk ilegal tanpa dasar, ini pencemaran nama baik,” ujar Raharusun.
Dalam permohonan praperadilan, pemohon juga mengungkap adanya dugaan pemerasan oleh aparat. Salah satu klien kehilangan uang tunai 1.900 Kina dan Rp 500 ribu, serta diminta membayar denda 80.000 Kina tanpa kejelasan dasar hukum.
Atas hal itu, para pemohon menuntut ganti rugi materiil Rp 1 miliar, ganti rugi immateriil Rp 2,5 miliar, rehabilitasi nama baik sebagai pejabat publik PNG.
Kuasa hukum berargumen bahwa dugaan pelanggaran keimigrasian semestinya ditangani secara administratif, bukan pidana. Mereka menilai aparat terlalu cepat mempidanakan tanpa mengedepankan asas ultimum remedium, yakni hukum pidana sebagai upaya terakhir.
Dalam petitum permohonan, para pemohon meminta hakim untuk menyatakan penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan tidak sah, memerintahkan pembebasan segera dari Rutan Abepura, membatalkan seluruh proses penyidikan, memerintahkan rehabilitasi dan pembayaran ganti rugi oleh penyidik dan jaksa.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut perlakuan terhadap pejabat negara sahabat yang sedang melakukan kunjungan resmi. Jika dikabulkan, gugatan ini bisa berdampak pada hubungan diplomatik RI–PNG serta menjadi preseden bagi perlakuan aparat terhadap warga negara asing. **