Yuven Fernandez
WAJAHNYA muram, matanya berkaca-kaca menahan air mata, suaranya lirih nyaris hilang. Begitulah sosok Martina Bala (53), seorang janda asal Kampung Magesayang, Dusun Wairbleler, Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Martina bersama empat anaknya telah bertahun-tahun bergulat dengan kemiskinan, masing-masing Elenterius Ronald (24), Avila Triyanti (20), Oktavia Mikaela (14), dan Marianus Jenoario (13).
Sejak ditinggal sang suami saat anak-anaknya masih kecil, ia menanggung seluruh beban sebagai ibu sekaligus kepala keluarga.
Dua anak Martina lainnya telah pergi mencari hidup yang lebih baik.
Gabriel Nong Gebi (32), anak sulungnya bersama istri dan anak tinggal di Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat.
Gabriel bekerja serabutan sebagai penjaga toko dan mencetak batu merah.
Hidup dalam kondisi serba terbatas ini, memaksa anak keduanya, Heriyanto Seno (27), pergi merantau menjadi buruh sawit di Kalimantan, agar bisa menopang keluarganya.
Di dalam rumah kecil berukuran 2,5 x 4 meter, yang berdinding pelepah bambu dan beratap bocor itu, Martina dan empat anaknya terus bertahan hidup.
Rumah keluarga Martina tak ada kamar mandi. Tak ada listrik milik sendiri. Bahkan tak ada jaminan bahwa besok mereka masih bisa makan.
Rumah Lebih Menyerupai Gubuk Tua
Martina dan empat anaknya tinggal di rumah bambu yang lapuk, dengan harapan yang rapuh. Rumah itu berdiri di atas sebidang tanah 10 x 20 meter, yang dibeli dari hasil kerja keras Heriyanto.
Rumah itu lebih menyerupai gubuk tua. Dindingnya dari pelepah bambu yang sudah rapuh, pintunya hanya dua lembar seng bekas, dan listrik mereka sambung dari tetangga.
Untuk mandi dan buang air, keluarga ini harus meminta tolong pada warga sekitar. Padahal letaknya hanya 200 meter dari jalan Trans Flores dan 700 meter dari gereja, namun jauh dari perhatian pembangunan.
“Rumah kami ini sebenarnya sudah tak bisa dibilang rumah, tapi kami tak punya pilihan,” kata Martina dengan suara terbata-bata menahan tangis.
Khlemens Keri, Sekretaris DPP Kuasi Paroki Wairita, yang mengunjungi langsung lokasi pada Sabtu (3/5/2025).
Khlemens menyaksikan langsung betapa timpangnya realitas di lapangan dengan janji-janji keadilan sosial.
Bertahan Hidup dari Tenun dan Buruh Kebun
Untuk menyambung hidup, Martina dan anak-anaknya bekerja sebagai buruh kebun dan menenun kain lipa khas Sikka bersama anak perempuannya, Avila.
Dalam sebulan, mereka hanya mampu menghasilkan empat lembar kain. Kain-kain ini dijual dengan harga antara Rp 120.000 hingga Rp 300.000, namun sebagian besar hasilnya habis untuk membeli benang, pewarna, dan kebutuhan pokok.
Mereka hanya makan sekali sehari. Jika ada beras, mereka bersyukur. Jika tidak, jagung goreng dengan daun ubi menjadi satu-satunya pilihan.
Ronald, anak ketiga, putus sekolah saat duduk di bangku kelas VIII SMP. Kini ia membantu mengiris pohon lontar untuk membuat moke.
Sementara Oktavia, yang sempat bersekolah kelas VIII di SMP Negeri 01 Waigete, terpaksa berhenti karena keterbatasan ekonomi meski mendapatkan bantuan beasiswa.
Dua anak lelakinya kadang terpaksa menginap di rumah saudara, karena ruang di rumah terlalu sempit untuk ditinggali berlima.
“Kami tak pernah minta lebih. Asal bisa makan dan anak-anak bisa tidur tanpa kehujanan, itu sudah cukup,” ujar Martina, menunduk, seolah menyembunyikan luka yang terlalu dalam untuk diucap.
Janji Tinggal janji
Pada Oktober 2023, harapan sempat muncul. Aparat desa mendatangi rumah Martina, untuk mendata sebagai calon penerima bantuan rumah. Mereka memotret dan mencatat kondisi tempat tinggalnya.
Namun sejak itu, semuanya diam. Tak ada tindak lanjut. Tak ada kabar.
“Mereka janji rumah kami akan dibantu. Sudah difoto dan didata. Tapi sampai sekarang, tak ada apa-apa,” kata Martina, kecewa.
Ketua RT 009, Fransiskus Nong Efendi, mengaku sudah berulang kali menyampaikan hal ini kepada Pemerintah Desa Hoder. Tapi upaya itu seperti menjerit di ruang kosong.
“Kalau angin besar datang malam, mereka tak bisa tidur. Takut rumah itu roboh menimpa mereka,” ungkap Fransiskus dengan nada getir.
Harapan Itu datang dari Gereja
Kondisi Martina akhirnya sampai juga ke telinga Gereja. Pastor Paroki St. Arnoldus Jansen, Wairita langsung mengutus tim untuk melihat sendiri kehidupan keluarga Martina.
Dalam semangat Bulan Maria dan perayaan Paskah, umat Kuasi Paroki menggalang solidaritas dengan mengumpulkan bahan bangunan, seperti kayu, seng, batu, paku, serta sumbangan uang dan tenaga kerja.
“Kami mengajak semua umat untuk bergerak. Ini soal kemanusiaan. Tak ada alasan untuk menunda, saat satu keluarga hidup dalam bahaya setiap hari,” tegas Khlemens.
Tangisan Sunyi yang Menantikan Jawaban
Martina Bala dan anak-anaknya adalah wajah-wajah dari mereka yang kerap luput dari perhatian. Mereka bukan sekadar angka dalam data kemiskinan, tapi mereka adalah manusia yang berjuang setiap hari, tanpa suara, tanpa sorotan.
Dalam setiap helai kain yang ia pintal, dalam setiap tetes keringat anak-anaknya, tersimpan doa agar esok tak seburuk hari ini. Bahwa mungkin, suatu saat nanti, mereka bisa tinggal di rumah yang kokoh. Bisa makan bersama tanpa cemas. Bisa tidur tanpa takut.
“Saya hanya ingin tempat yang aman untuk anak-anak. Itu saja,” kata Martina, lirih, dengan mata yang tak lagi mampu menyembunyikan air mata.
Dan semoga, dari balik dinding rapuh ini, suara mereka sampai ke telinga yang peduli. Agar empat nyawa tak lagi hidup dalam bayang-bayang runtuhnya keadilan. **