Makawaru da Cunha
WACANA pemekaran Provinsi Flores sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) di Nusa Tenggara Timur (NTT) berhembus kembali dalam beberapa tahun terakhir.
Pemekaran Provinsi Flores awalnya diinisiasi Forum Solidaritas Swadaya Masyarakat (FSSM), organisasi masyarakat sipil di Flores dan Lembata, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan dan penguatan identitas lokal.
FSSM sekaligus menjadi penghubung antara masyarakat lokal dan pemerintah pusat, Kemendagri, DPD RI, dan DPR RI, untuk menyuarakan aspirasi rakyat Flores.
Para inisiator pemekaran Provinsi Flores mengedepankan argumentasi kuat soal ketimpangan pembangunan antarwilayah di NTT, dimana sebagian besar kebijakan dan anggaran lebih terkonsentrasi di Pulau Timor, khususnya Kupang sebagai ibu kota provinsi.
Meski demikian, fakta menunjukan Flores, dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa, SDM dan SDA yang besar, dianggap belum mendapatkan perhatian yang proporsional.
Puncaknya adalah pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) Orang Flores 31 Oktober hingga 1 November 2002 di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Mubes dihadiri elit birokrat, kalangan legislatif, tokoh adat, pemuda, perempuan, akademisi dari berbagai wilayah Pulau Flores dan Lembata, masyarakat diaspora Kupang dan Jakarta.
Apa yang terjadi? Mubes mengalami deadlock atau jalan buntu, akibat ego sektoral antar daerah mengenai usulan lokasi ibu kota provinsi
Perwakilan Sikka, Flotim dan Lembata ngotot ibu kota provinsi Flores di Maumere, orang Ende usul di Ende, dan orang Ngada dan Manggarai usul di Mbay.
Padahal, mubes adalah tonggak sejarah penting wacana pemekaran provinsi Flores, untuk mendapat pijakan sosial dan politis yang kuat, konsolidasi lintas kabupaten, dan penyusunan naskah akademik, pembentukan tim presidium, serta perumusan lokasi calon ibu kota dan nama provinsi, untuk diajukan ke pemerintah pusat.
Wacana pemekaran provinsi Flores sebenarnya jauh lebih dulu dari DOB Kalimantan Utara, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya dan lain-lain. Namun kini beberapa DOB itu telah menjadi provinsi defenitif.
Mubes bukan lagi Musyawarah Besar, tapi diplesetkan menjadi “Mulut Besar” orang Flores.
Pasca Mubes, tantangan selanjutnya adalah pemerintah pusat sejak 2014 masih memberlakukan kebijakan moratorium atau penundaan DOB di Tanah Air, ego sektoral antar daerah mengenai lokasi ibu kota provinsi, stigma elitisasi gerakan perlu transparansi dan partisipasi publik, agar masyarakat percaya bahwa pemekaran benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Mari buka “lembaran baru”, agar pemekaran provinsi Flores tak hanya sekedar wacana, tapi benar-benar menjadi kenyataan.