Categories TELUSUR

Menyelamatkan Generasi Emas Nabire: Saatnya Serius Menangani Rendahnya Capaian ASI Eksklusif

Oleh: Sopia Gobai
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin)

Rendahnya capaian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah, harus menjadi perhatian serius semua pihak. Berdasarkan data Dinas Kesehatan daerah dalam dua tahun terakhir, capaian tahun 2024 hanya sekitar 17,92 % bayi usia 0–6 bulan yang menerima ASI eksklusif saja, jauh di bawah target nasional sebesar 50%. Angka ini bukan hanya statistik kosong—ini adalah cerminan dari tantangan sosial, budaya, dan struktural yang kompleks.

Di tengah upaya nasional menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pemberian ASI eksklusif adalah langkah dasar dan paling strategis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan dapat menurunkan risiko infeksi, meningkatkan kecerdasan, dan memperkuat ikatan emosional ibu-anak.

Namun di Nabire, berbagai tantangan masih menghambat praktik ini. Pertama, budaya lokal dan mitos yang masih berkembang di banyak komunitas menganggap ASI saja tidak cukup. Beberapa keluarga masih memberi air putih atau makanan tambahan dini kepada bayi karena kepercayaan lama, padahal ini berisiko besar bagi kesehatan bayi.

Minimnya dukungan di tempat kerja bagi ibu bekerja menjadi hambatan nyata. Banyak ibu tidak memiliki akses ke ruang laktasi atau waktu cukup untuk menyusui di tempat kerja, baik di sektor formal maupun informal. Ketiga, akses informasi dan edukasi tentang manfaat ASI eksklusif masih belum merata, terutama di wilayah pedalaman dan kampung-kampung terpencil.

Keterlibatan ayah dan keluarga juga masih minim. Keputusan menyusui sering kali dianggap tanggung jawab ibu semata, tanpa dukungan emosional dan praktis dari suami atau keluarga besar. Dan kelima, layanan kesehatan dasar belum optimal, baik dalam pemantauan tumbuh kembang anak maupun edukasi konseling laktasi yang berkelanjutan.

Lalu, apa resolusinya?

Pertama, pemerintah daerah harus menyusun kebijakan afirmatif berupa Peraturan Bupati tentang Perlindungan dan Dukungan bagi Ibu Menyusui, termasuk kewajiban menyediakan ruang ASI di kantor pemerintahan dan perusahaan swasta. Ini harus diikuti pengawasan rutin oleh dinas terkait.

Kedua, penguatan edukasi berbasis budaya lokal sangat diperlukan. Melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan kepala kampung dalam menyampaikan pesan kesehatan tentang pentingnya ASI eksklusif dapat menurunkan resistensi terhadap informasi baru. Pesan yang disampaikan dengan bahasa lokal dan pendekatan adat akan lebih diterima masyarakat.

Ketiga, kader kesehatan dan bidan desa perlu ditingkatkan kapasitasnya dalam hal konseling menyusui, tidak hanya saat persalinan tapi juga dalam pemantauan pasca kelahiran. Dukungan ini harus bersifat berkelanjutan, bukan sekali datang lalu hilang.

Keempat, peran media lokal dan media sosial perlu dioptimalkan. Kampanye ASI eksklusif bisa dikemas dalam bentuk konten kreatif seperti video pendek berbahasa daerah, cerita rakyat modern, atau drama mini di radio lokal.

Kelima, libatkan generasi muda dan pelajar kesehatan di Nabire untuk menjadi duta ASI eksklusif. Pelibatan mereka bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga menumbuhkan kesadaran lintas generasi tentang pentingnya praktik menyusui yang tepat.

Kita semua bertanggung jawab membangun fondasi generasi masa depan Papua Tengah. Jika bayi-bayi kita tidak mendapatkan haknya untuk tumbuh sehat sejak lahir, maka upaya mengangkat derajat kesehatan masyarakat akan selalu tertinggal.

Kini saatnya bersuara. “Mari kita mulai dari yang paling dasar: mendukung penuh praktik ASI eksklusif di Nabire, demi generasi emas Papua Tengah yang sehat, cerdas, dan kuat”.

About The Author

More From Author

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *