Categories CITRA

Mengenang 20 Tahun Berpulangnya Valens Doy

Makawaru da Cunha (*)

HARI ini, 3 Mei 2025, genap dua puluh tahun berpulangnya Valens Doy—sosok visioner, tokoh pers nasional, wartawan senior Harian Kompas, sekaligus arsitek penting dalam sejarah pers daerah di Indonesia.

Ia berpulang pada 3 Mei 2005 di ICCU RS Sanglah, Denpasar, Bali.

Namun warisan pemikirannya, ketekunan membangun media lokal, dan dedikasinya terhadap jurnalisme, tetap hidup dalam ingatan kolektif banyak insan pers, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Valens Doy lahir pada 2 Agustus 1944 di Boawae, Kabupaten Ngada, NTT.

Dari kampung kecil di Flores, ia melesat menjadi aktor penting dalam dinamika pers nasional, dan kelak kembali ke akar dan menyulut api perubahan dari desa-desa terpencil melalui surat kabar lokal seperti Pos Kupang, Flores Pos, dan lainnya.

Valens Doy dan Misi Besar Persda: Dari Sabang Sampai Merauke

Karier jurnalistik Valens Doy menanjak tajam sejak bergabung dengan Harian Kompas pada awal 1970-an.

Ia dikenal cermat, teliti, dan memiliki intuisi tajam terhadap denyut kehidupan daerah. Di bawah naungan Kompas Gramedia, ia dipercaya menggawangi pengembangan jaringan koran daerah Kelompok Persda, cikal bakal Tribun Network.

Sejak 1988, ia terlibat dalam perintisan harian seperti Surya (Surabaya), Sriwijaya Post (Palembang), Serambi Indonesia (Aceh), Pos Kupang, Bernas (Yogyakarta), hingga Suara Timor Timur di Dili.

Semua ini dilaksanakan dengan sistem kemitraan saham daerah dan Jakarta, sebuah pendekatan yang visioner untuk masa itu.

Valens Doy menjabat Wakil Direktur pertama di PT Indopersda Primamedia. Ia bukan sekadar manajer media, tapi mentor, pemikir, sekaligus “tangan dingin” yang bisa membuat surat kabar bertunas di daerah yang sebelumnya nyaris tak tersentuh media massa harian.

Awal Peretemuan: Ke Ciputan Membuka Jalan ke Flores

Pertemuan pertama saya dengan Valens Doy terjadi sekitar 1990 di rumahnya di Ciputat, Jakarta Selatan. Saya bersama almarhum Jhony Juang, yang kelak membantu merintis Pos Kupang. Dari perbincangan itu, saya melihat tekad seorang jurnalis senior, yang tak ingin daerahnya tertinggal dalam arus informasi nasional.

Ia tak hanya bicara gagasan, tapi juga eksekusi. Setelah sukses membangun Pos Kupang, ia melirik Pulau Flores sebagai tempat berikutnya. Ia memahami tantangan dan potensi, tapi juga menyadari pertanyaan krusial: “Tapi mereka di sana, mau kerja nggak,” kelakar Valens Doy.

Menyalakan Obor di Ende: Lahirnya Flores Pos

Gagasan menerbitkan Flores Pos mulai menemukan bentuk setelah pertemuan Valens Doy dengan Almarhum Pater Henri Daros, SVD, di Kantor Majalah Prospektif, Jakarta.

Lalu ia membawa tim kecil ke Ende antara lain wartawan senior Steve H Prabowo, ahli keuangan, hingga perangkat seperti komputer dan modem.

Saya menjadi saksi langsung proses perekrutan dan pelatihan calon wartawan Flores Pos. Pelatihan berlangsung intensif namun menyenangkan. Kami dibagi dalam tiga kelas: redaksi, iklan, dan sirkulasi. Kami dilatih menulis, berburu berita, dan mempresentasikan hasil kerja di depan para senior seperti  Almarhum Thom Wignyanta dan Frans Obon.

Di sinilah saya benar-benar melihat karakter Valens Doy: tegas tapi bersahaja, penuh prinsip, tapi sangat terbuka pada ide-ide baru. Ia mengajarkan bahwa surat kabar bukan sekadar bisnis, tapi pengabdian pada publik.

9 September 1999: Flores Pos Lahir, Disambut Hangat

Tanpa seremoni mewah, Flores Pos resmi terbit pada 9 September 1999. Hanya sebuah ibadah sederhana yang dipimpin Almarhum Pater John Dami Mukese mengiringi peluncuran perdana. Tapi sambutan publik luar biasa.

Edisi perdana habis terjual. Oplah 1.500 eksemplar terdistribusi ke seluruh Flores, Lembata, hingga Adonara. Isu-isu seperti calon Provinsi Flores, polemik Korem, hingga rabies, menjadi headline pertama. Di balik semua ini, ada tangan dingin Valens Doy. Ia mengontrol tajuk rencana, menyunting berita, dan mengkoordinasi distribusi yang rumit.

Tantangan Distribusi dan Solusi Valens Doy

Pulau Flores yang memanjang dan terjal membuat distribusi Flores Pos tak semudah menjual roti. Loper-loper harus mengendarai motor menembus lembah, ngarai, dan gunung.

Dari Ende ke Maumere butuh 3 jam. Ke Larantuka 6 jam dan Lewoleba dan Adonara harus naik kapal motor. Ke Ruteng, Bajawa, dan Labuan Bajo perlu berhari-hari.

Untuk memperluas jangkauan, Valens Doy mendorong pencetakan edisi lokal di Kupang dan Jakarta. Ini solusi cerdas, agar warga diaspora Flores tetap bisa mengakses kabar kampung halaman mereka.

Jurnalisme, Sepakbola, dan ETMC Ende 1999

Saya masih ingat saat ditugaskan meliput El Tari Memorial Cup (ETMC) Ende 1999. Turnamen empat tahunan ini menyatukan semangat warga NTT dalam balutan sepak bola. Valens Doy mengorganisir tim peliput seperti pelatih merancang strategi. Saya, Vicky da Gomez, Vian K Burin, Albert Vincent, dan Jos K Diaz menjadi “pemain lapangan”.

Valens Doy tak pernah puas. Ia menuntut liputan tajam, profil ringan, dan tajuk yang menggugah. Tak heran, oplah Flores Pos naik drastis saat itu.

Makan Malam, Filosofi dan Media

Di tengah kesibukan, Valens Doy menyempatkan waktu makan malam bersama tim. Di sebuah restoran China di Maumere, kami berbagi kisah dan mendengarkan petuahnya: soal struktur berita, tanggung jawab sosial media, hingga etika kepemimpinan redaksi.

Ia bukan tipe bos yang suka berpidato. Tapi setiap kalimatnya tajam, konkret, dan membekas. Ia mendidik lewat contoh.

Krisis, Digitalisasi, dan Akhir Sebuah Era

Namun seperti banyak media cetak lainnya, Flores Pos tak luput dari dampak krisis ekonomi dan digitalisasi. Oplah merosot, biaya naik, dan preferensi publik bergeser ke media sosial. Maka pada suatu hari, kabar duka pun datang: Flores Pos berhenti terbit.

Yunita Ina, rekan lama dari divisi marketing, menyampaikan kabar itu kepada saya. Hati saya perih, tapi saya juga sadar: media tak pernah benar-benar mati. Media hanya bertransformasi.

Dan Flores Pos pun lahir kembali sebagai FloresPos.net pada 10 Oktober 2019. Sebuah versi digital yang menjawab tantangan zaman.

Warisan Abadi Valens Doy

Valens Doy bukan hanya pendiri Flores Pos, tapi juga bapak pers daerah yang berjasa menyalakan cahaya informasi di tempat yang sebelumnya gelap dari pemberitaan. Ia bukan sekadar wartawan; ia adalah guru, pemimpin, dan penjaga nilai-nilai jurnalistik.

Kini, dua puluh tahun setelah kepergiannya, kita tak hanya mengenang sosoknya, tapi juga merayakan warisan yang ia tinggalkan. Surat kabar boleh berhenti terbit, tapi semangatnya hidup dalam tiap kalimat, tiap berita, dan tiap jiwa yang terpanggil menjadi jurnalis.

Kami selalu mengenangmu, Om. Terima kasih atas seluruh jejakmu. Rest In Peace. Beristirahatlah dalam Damai. **

(*) Mantan Wartawan Flores Pos

About The Author

More From Author

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *