Categories TELUSUR

Kegagalan Negara dalam Menghormati Hak dan Keadilan bagi Orang Asli Papua: Refleksi Rekrutmen Tenaga Kesehatan di RS Kemenkes di Jayapura

Oleh: Jansen Previdea Kareth (*)

BERBAGAI persoalan penting dan menarik terus terjadi di atas tanah Papua, mulai dari politik, ekonomi, hingga pelanggaran HAM yang kian meluas sejak integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1963 hingga hari ini.

Fakta menunjukkan bahwa negara belum konsisten dan serius membangun Papua secara menyeluruh. Ketidakadilan, kekerasan, dan minimnya penghargaan terhadap hidup serta hak-hak masyarakat asli Papua (OAP) atas tanah leluhurnya masih terus berlanjut.

Pada 2011, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merumuskan empat akar persoalan konflik di Papua: pertama, pelurusan sejarah dan status politik integrasi Papua ke NKRI; kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap OAP sejak 1963 hingga kini; ketiga, diskriminasi dan marginalisasi OAP di tanahnya sendiri; dan keempat, kegagalan negara dalam pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur.

Rekomendasi LIPI yang belum ditindaklanjuti oleh negara merupakan bentuk kejahatan kebijakan yang menutup ruang bagi OAP. Oleh sebab itu, persoalan konflik Papua tidak akan terselesaikan secara damai dan bermartabat tanpa keadilan dan penghormatan penuh terhadap hak-hak masyarakat asli.

Regulasi tumpang tindih dan pengabaian asas hukum dalam implementasi konstitusi, khususnya Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 yang mengakui satuan pemerintah daerah bersifat khusus dan istimewa, menegaskan perlunya perlakuan berbeda bagi Papua. UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 21 Tahun 2001, sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan masyarakat Papua, seharusnya menjadi solusi win-win. Namun, pada praktiknya, pasal-pasal penting dalam UU ini, termasuk Pasal 76 tentang pemekaran provinsi yang harus melibatkan MRP dan DPRP, belum diimplementasikan dengan baik dan bahkan dilakukan sepihak oleh oknum tertentu di DPR RI pada 2021.

Negara hanya berhasil membuat produk hukum pembentukan lembaga MRP melalui PP No 45 Tahun 2004 dan Perdasus Nomor 4 Tahun 2010 tentang mekanisme pemilihan anggota MRP, namun tidak menunjukkan konsistensi dan keseriusan dalam pelaksanaan amanat UU Otsus secara menyeluruh.

Sebagai anak asli Papua, saya merasa miris dan terpukul ketika menyaksikan pernyataan keras Ketua DPRP Papua, Denny Bonay, dalam rapat Forkompinda pada 2 Juni 2025.

Ia mempertanyakan rekrutmen tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kemenkes RI di Jayapura yang dari 529 tenaga kerja, hanya 9 orang adalah OAP. Pernyataan ini mewakili keresahan hati nurani seluruh masyarakat Papua dan saya memberikan apresiasi atas keberaniannya memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Papua.

Kasus ini mencerminkan kegagalan negara dalam pembangunan bidang kesehatan di tanah Papua sebagaimana direkomendasikan LIPI 2011. Rekrutmen yang timpang ini menunjukkan tidak adanya keberpihakan negara terhadap OAP, padahal Papua adalah daerah khusus seperti Aceh, yang seharusnya mendapat perlakuan adil, merata, dan prioritas pembangunan.

Rumah Sakit Kemenkes Jayapura yang berdiri megah di tanah Papua justru menjadi saksi ketidakadilan ini. Hanya 9 dari 529 tenaga kesehatan yang berasal dari OAP, sebuah fakta yang aneh dan mengherankan. Hal ini layaknya janji indah yang diucapkan oleh negara pusat, namun kenyataannya menyimpan kebencian dan kebohongan yang diwariskan kepada OAP.

Rekrutmen tenaga kesehatan di Papua harus berlandaskan UU Otsus terbaru, yaitu Amandemen UU No 2 Tahun 2021 dan PP No 106 Tahun 2021 yang mengatur kewenangan bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib menyediakan tenaga kesehatan sesuai lingkup kewenangan dan memberikan kesempatan kerja kepada OAP berdasarkan pendidikan dan keahliannya.

UU Otsus menjelaskan bahwa Papua bukanlah tanah kosong, melainkan rumah bagi sekitar 255 suku adat. Oleh sebab itu, fakta ketidakadilan dalam rekrutmen tenaga kesehatan ini perlu menjadi bahan refleksi dan evaluasi menyeluruh oleh negara agar hak OAP diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Memberikan kuota yang memadai bagi tenaga kesehatan OAP adalah wujud nyata keberpihakan dan penghormatan atas hak-hak masyarakat adat Papua.

Tulisan ini saya sampaikan sebagai pesan profetik untuk membuka mata dan hati para pemegang kekuasaan di lembaga negara agar lebih serius dan tulus menyelesaikan konflik dan persoalan yang telah lama membelenggu tanah Papua. Hanya dengan itikad baik dan tindakan konkret, konflik di Papua dapat berakhir dengan damai dan bermartabat. **

(*) Ketua Aliansi Pemuda & Masyarakat Papua Peduli Demokrasi di Tanah Papua

About The Author

More From Author

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *