CITRAPAPUA – Kota Jayapura – Wacana penerapan Azas Dominus Litis dalam Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), selain bertentangan dengan konstitusi, juga akan memunculkan tindakan penyalahgunaaan kekuasaan atau abuse of power dari lembaga Kejaksaan.
Hal ini disampaikan Advokat Yohanes D Reda, ST, SH, MH, ketika dikonfirmasi di Jayapura, Senin 10 Februari 2025.
Sebagaimana diketahui azas dominus litis disebut akan menempatkan Jaksa sebagai pihak yang menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan ke pengadilan atau dihentikan tentunya akan mengambil alih kewenangan kepolisian dalam mengungkap dan menghentikan suatu perkara.
Reda menjelaskan, RUU KUHAP yang memperluas kewenangan Kejaksaan dalam proses penyidikan memang bisa dilihat sebagai upaya memperkuat kontrol hukum dalam proses peradilan pidana.
Namun, jika tanpa pengawasan yang ketat, ini berisiko menciptakan dominasi tunggal yang justru menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang baru.
Reda menduga bahwa perluasan ini hanya akan efektif, jika diiringi dengan mekanisme checks and balances yang lebih ketat, bukan hanya sekadar menggeser dominasi dari satu institusi ke institusi lainnya.
“Jika alasan utama dari pergeseran kewenangan ini adalah kelemahan Polri dalam penyidikan, maka kebijakan ini tidak menyentuh akar permasalahan,” ujar Reda.
Oleh karena itu, tutur Reda, solusi yang lebih tepat bukan sekadar memindahkan kewenangan, tapi memperbaiki kelemahan struktural yang ada di kedua institusi, baik dalam hal transparansi, profesionalisme, maupun akuntabilitas.
Reformasi internal di Polri—misalnya dengan memperkuat pengawasan internal dan eksternal, serta meningkatkan kompetensi penyidik—lebih logis daripada sekadar pergeseran kewenangan.
“Jika kewenangan penyidikan diserahkan kepada Kejaksaan tanpa mekanisme pengawasan yang lebih kuat, maka potensi kolusi dan penyalahgunaan justru bisa semakin meningkat,” terang Reda.
Reda berpendapat bahwa pemisahan fungsi penyidikan di Polri dan penuntutan di Kejaksaan saat ini justru menjadi bentuk keseimbangan yang penting untuk menghindari monopoli kewenangan dalam sistem peradilan pidana.
Reda mendukung gagasan bahwa penyidikan tetap berada di bawah Polri, tapi dengan mekanisme kontrol yang lebih ketat oleh Kejaksaan. Polri tetap sebagai penyidik utama, tapi Kejaksaan memiliki hak untuk memberikan arahan sejak awal penyidikan serta mengawasi prosesnya agar sesuai dengan standar hukum yang berlaku.
“Pendekatan ini lebih moderat dan mengurangi risiko dominasi tunggal dari salah satu institusi,” tandas Reda.(Redaksi)