Makawaru da Cunha
WACANA pemekaran Provinsi Flores sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) di Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah lama jadi pergunjingan seru masyarakat dimanapun.
Maklum, orang Flores memang paling suka cerita, diskusi, ngobrol dan lain-lain. Isu-isu hangat sering menjadi topik obrolan.
Namun wacana pemekaran provinsi Flores diperjuangkan secara formal, setelah Forum Solidaritas Swadaya Masyarakat (FSSM), organisasi masyarakat sipil di Flores dan Lembata pertama kali menginisiasi pemekaran Provinsi Flores sejak tahun 2000 silam.
Bagi FSSM, tujuan pemekaran Provinsi Flores adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan pembangunan dan penguatan identitas lokal.
FSSM mendorong pemerintah daerah, legislatif dan masyarakat, khususnya di lima kabupaten di Flores kala itu, Sikka, Flotim, Ende, Ngada dan Manggarai, agar wacana pemekaran Provinsi Flores menjadi suatu gerakan bersama.
Ruang ruang DPRD, DPR RI dan DPD RI, bahkan tak pernah sepi membahas wacana tersebut.
FSSM menjadi penghubung antara masyarakat lokal dan Pemerintah Pusat, Kemendagri, DPD RI, DPR RI, untuk menyuarakan aspirasi rakyat Flores.
Ketimpangan Pembangunan
FSSM mengedepankan argumentasi kuat soal ketimpangan pembangunan antarwilayah di NTT, dimana sebagian besar kebijakan dan anggaran lebih terkonsentrasi di Pulau Timor, khususnya Kupang sebagai ibu kota provinsi.
Pulau Flores, dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa, dan menyimpan sumber daya alam dan budaya yang melimpah, namun dianggap belum mendapatkan perhatian yang proporsional.
Mubes Orang Flores
Puncaknya, pada saat pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) Orang Flores di Gedung Sekretariat DPD Golkar Kabupaten Manggarai di Ruteng 31 Oktober hingga 1 November 2002 silam.
Mubes berlangsung sukses, walaupun sempat panas dan mengalami deadlock atau jalan buntu, terutama pembahasan calon ibu kota provinsi. Hal ini akibat ego sektoral antar daerah, yang berupaya memaksakan kehendak, agar daerahnya menjadi calon ibu kota.
Hujan intrupsi sulit ditengahi. Perwakilan Sikka dan Flotim ngotot ibu kota di Maumere, Ende usul di Ende dan Ngada dan Manggarai memilih di Mbay.
Sejatinya, mubes adalah tonggak sejarah penting, untuk mendapatkan pijakan sosial dan politik yang kuat, konsolidasi lintas kabupaten, penyusunan naskah akademik, pembentukan tim presidium dan perumusan lokasi calon ibu kota dan nama provinsi, untuk diajukan ke pemerintah pusat.
Mubes saat itu bukan lagi Musyawarah Besar, tapi diplesetkan menjadi “Mulut Besar” Orang Flores.
Kebijakan Moratorium
Pasca mubes, tantangan selanjutnya adalah pemerintah pusat sejak 2014 masih memberlakukan kebijakan moratorium atau penundaaan DOB di Tanah Air, ego sektoral antar daerah mengenai lokasi ibu kota provinsi, dan agar pemekaran dipercaya untuk kesejahteraan rakyat, bukan perebutan kekuasaan, maka gerakan ini harus transparan, partisipasi publik, dan bebas dari stigma elitisasi.
Well, mari duduk, diskusi dan putuskan bersama serta membuka “lembaran baru”. Bila pemerintah pusat mencabut kembali moratorium DOB, maka pemekaran provinsi Flores bukan hanya sekedar slogan kosong, mimpi dan wacana. Tapi dapat diwujudkan menjadi provinsi defenitif di waktu mendatang. **